WELCOME TO BLOG
DEDI SETIAWAN

Senin, 08 Maret 2010

Lelaki dan Sekuntum Kamboja

Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?

Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana. Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman. Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu. Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.

Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya.

Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.

Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.

Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
***
Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas.

Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.

Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?

Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih keras lagi.

Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.

Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.

Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu.

Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih.
***
Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan.

Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus.

"Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.
"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.

Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.

"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Sunu mengikuti langkahku.

Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.

Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.

"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."

Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Aku harus waspada.

Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal halal.
***
Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.

Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.

Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.

Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya.

Gelombang Besar di Kota Itu

          Mungkin akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi lambungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu memulai kisah malam ini.
Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang mengatakan itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak orang mengaguminya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada penonton yang menangis histeris) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi juru cerita tetap dijaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15 cucu. Kini usia ibu sudah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang berkisah.
Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika Khidir membawa "murid"-nya menimba ilmu dari kehidupan ini. Berkali-kali "sang guru" mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal dan tak masuk akal bagi si murid. Tetapi, setiap kali sang murid hendak bertanya (mungkin menggugat), setiap kali itu pula Khidir menyatakan: "Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan, kelak kau akan memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilakoni dengan bijaksana!"
Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada orang dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit dicermati oleh kanak-kanak. "Setelah lambung perahu itu dilubangi, guru dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah. Sungguh menyiksa!"
Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita soal gelombang besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk mendengar kisahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah gelombang amat besar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu seperti dimuntahkan oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan bangunan, pohon, kapal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti kiamat.
Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penerang rusak. Mereka sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total. Di mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon tumbang menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan kapal besar pun terdampar di jantung kota.
Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu? Mati. Mereka dihempas gelombang besar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada di tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan gelombang mahadahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru.
***
KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal, sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga, tapi diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memprihatinkan. Lapar ditumpukan alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur minyak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur.
Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak. Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakutan. Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kunang. Langit pekat setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk sebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat. Penerang hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika para orang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip, takut diberondong para serdadu.
"Tidak boleh ada keriangan di kota itu," kisah ibu, mungkin inilah cerita terakhir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan kami dan cucu-cucunya. "Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara dentuman..."
Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para orang tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu. Apabila ketahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang tua diseret untuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan, pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah yang berkuasa.
Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka para orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran dibebani tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut mendapat sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke hutan. Setiap anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya tertutup hingga yang tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan menjadi makin mencekam.
Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat. Bergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili perawan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan. Anak-anak jadah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan ada yang sampai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah.
Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari seberang. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol menguar di mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga.
Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa kota dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan akan menjadi kenyataan. Sampai kapan? Tak satu pun warga yang berani menagih kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia...
Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah --tapi cuma beberapa shaf atau kursi. Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan berpaling? Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu? Adakah janji Tuhan bahwa Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha mengubahnya sendiri, adalah keniscayaan? Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku sebaliknya. Hanya saja, sampai kini tetap tak terpahami.
Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi orang-orang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab Tuhan milik orang-orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan perempuan-perempuan cantik nan menantang syahwat.
Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan perjudian. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang hendak menegakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling mempengaruhi. Dan, selalu saja, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu berkisah yang masih terngiang di telingaku.
Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal Rasulullah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga beliau pernah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah) daripada memakmurkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong. Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek. Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan.
Kota, demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi bersorban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang amat minim. Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering telepon, tapi apa artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana?
Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang meninggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan asap rokok.
Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang tua. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi melihat orang yang tengah membikin perahu di tengah kota?
Barangkali, kalau saja Khidir tak melubangi lambung perahu itu, tentulah banyak orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama meninggalkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat bergelimpangan di setiap sudut kota, bahkan sampai membusuk. Pertolongan sulit memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau bisa membayangkan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama, dan tak bertanda? Ibu mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.  Pertanyaan itu hingga kini dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku benar-benar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang telah musnah itu? Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh gelombang mahadahsyat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang sesungguhnya amat kita cintai dan kagumi, karena di sana dulu lahir banyak orang suci dan pahlawan.

Selasa, 02 Maret 2010

Tips Merawat Laptop

Berikut beberapa tips yang dapat kita lakukan agar Laptop tetap dalam kondisi
prima

1.Jangan pernah meletakkan beban yang berat di atas laptop jika kita meletakkan barang barang yang memilki beban berat diatas
laptop,maka dapat menyebabkan goresan pada layar LCD.

2.Hindari meletakkan laptop didalam tas dengan barang yang terlampau penuh
dengan barang-barang..karena akan menyebabkan terjadinya tekanan pada laptop

3.perhatikan kondisi Suhu
Laptop atau notebook tersusun dari aneka komponen elektronik yang kinerjanya
dipengaruhi oleh suhu. Di antaranya, suhu yang terlalu ekstrem, misalnya
terlalu panas atau terlalu dingin, bisa mengganggu kinerja atau bahkan merusak
laptop. Oleh karena itu, hindarkan kebiasaan meninggalkan laptop di dalam mobil
yang diparkir di bawah terik sinar Matahari. Hindari pula laptop berada di
bawah sorot langsung sinar Matahari. Umumnya para produsen merekomendasikan
suhu antara 5 - 35 derajat Celcius. Sementara itu, untuk ketinggian laptop
direkomendasikan bekerja pada ketinggian di bawah 2.500 meter di atas permukaan
laut.

4.Penyimpanan
Bila Anda akan menyimpan laptop dalam waktu lama (satu minggu lebih), sebaiknya
lepaskan baterai dan simpan dalam tempat yang sejuk dan kering, serta
bersirkulasi udara cukup baik. Taruh silikon gel untuk menghindari jamur.
Begitu ingin menggunakannya kembali, setrum atau isi baterai dengan cara
mengisi dan mengosongkan sepenuhnya sebanyak tiga kali berturut-turut.

5.Hindari medan magnet
Untuk melindungi data yang ada di dalam harddisk, jangan letakkan peranti yang
mengandung medan magnet/elektromagnet kuat di sekitar laptop. Peranti-peranti
penghasil medan magnet, misalnya speaker yang tidak berpelindung (unshielded
speaker system) atau telefon selular. Seandainya Anda ingin mengakses internet
menggunakan fasilitas inframerah pada ponsel, letakkan ponsel dalam jarak
sekitar 15 cm dari laptop.

6.Gunakan stabilizer
Jika Anda sedang bekerja di laptop dengan menggunakan listrik (tanpa baterai),
maka sebaiknya gunakan stabilizer yang bisa mencegah terjadinya tegangan
listrik yang tidak stabil ke laptop Anda.

7.Mematikan dengan benar
Jangan pernah mematikan laptop saat lampu indikator harddisk masih
berkedip-kedip. Kondisi ini menunjukkan hard disk masih aktif. Hilangnya daya
secara tiba-tiba (misalnya saat laptop dimatikan) bisa mengakibatkan kerusakan
data atau gangguan kinerja pada hard disk. Pastikan lampu indikator harddisk
telah mati sebelum Anda men-shutdown laptop.

8.Hindari permukaan terlalu empuk
Jangan letakkan laptop ketika menyala di tempat dengan permukaan yang terlalu
empuk seperti sofa atau kasur, sehingga laptop menjadi terlihat agak tenggelam.
Hal ini sangat berbahaya, karena dapat menghambat keluarnya panas dari dalam
laptop serta menjadikan laptop kepanasan.

9.Engsel monitor
Kalau diperhatikan dengan seksama, di dalam lipatan antara CPU dan monitor LCD
terdapat engsel yang memungkinkan kedua komponen itu dikatupkan satu sama lain.
Perlu disadari bahwa beban terberat dalam suatu laptop adalah pada bagian
engsel tersebut. Oleh karena itu, jangan memberikan hentakan pada saat membuka
monitor sewaktu mau mengaktifkan laptop. Demikian juga sebaliknya, jangan
menutup monitor terlalu keras ketika selesai menggunakan komputer jinjing
tersebut.

10.Jangan membongkar laptop.
Membongkar sendiri laptop atau bukan oleh ahlinya, merupakan tindakan yang
sangat tidak bijaksana. Laptop tidaklah seperti radio atau tape recorder biasa.
Banyak bagian-bagian yang sangat kecil yang dari pabriknya saja sudah dirakit
dengan menggunakan presisi robot. Jika Anda ceroboh, maka laptop Anda bisa
rusak parah. Bawalah selalu laptop yang rusak ke IT atau service center dari
laptop Anda.

itulah 10 tips..untuk merawat Laptop agar selalu dalam keadaan prima...

Tips Merawat Hard Disk

                Penggunaan Komputer yang terlalu lama tanpa adanya perawatan dari sang pemilik dapat menyebabkan menurunnya kinerja komputer.
Salah satu yang menyebabkan menurunnya kinerja komputer adalah Harddisk.seperti yang kita tahu,harddisk mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal penyimpanan data.
Semua data data penting didalam komputer tersimpan didalam harddisk.Bayangkan jika suatu saat harddisk menjadi rusak dan anda belum sempat melakukan backup..maka data data penting anda akan lenyap seketika.sebenarnya ada sebuah program yang dapat digunakan untuk mengembalikan  data yang hilang.
Walaupun sudah ada software-software yang bisa mengembalikan data data yang sudah terhapus,tapi alangkah baiknya kalo kita dari awal telah mencegahnya terlebih dahulu sehingga hal demikian tidak akan terjadi..seperti kata pepatah,Sedia payung sebelum hujan..

Cara cara yang kita lakukan untuk mencegahnya adalah dengan melakukan perawatan pada harddisk..adapun caranya berikut ini
1.Installlah sebuah anti virus untuk berjaga jaga apabila nantinya ada virus yang menyerang dan merusak data anda..kalo bisa antivirusnya harus rutin di update.
2.Usahakan untuk selalu melakukan backup data yang
penting.
3.Gunakan scandisk untuk mengecek apakah ada batsector didalam harddisk.
4.selalu lakukan Defragment 2 minggu sekali agar data data didalam harddisk selalu tersusun rapi.
5.Gunakan Software pihak ketiga untuk membersihkan junk file,duplikat file,dan recycle bin.
6.Jangan terlalu sering mencabut dan memasang kembali harddisk kedalam CPU..karena Harddisk sangat sensitiv.jika terkena goncangan,maka data data didalam harddisk terancam hilang.
7.jangan menyimpan data terlampau banyak.maksudnya jangan sampai free harddisk sampe tinggal beberapa kylobyte..tapi berilah ruang sedikit agar harddisk tidak terlalu sesak setidaknya sisakan sekitar 20 MB..apabila anda menggunakan OS Windows biasanya akan muncul warning jika harddisk kita terlampau penuh.
8.uninstall program program yang tidak berguna agar tidak memberatkan harddisk
9.Pakailah UPS atau Stavolt..Gunanya jika kita menggunakan UPS adalah apabila sewaktu kita sedang menggunakan komputer tiba tiba listrik padam,komputer tidak akan langsung mati.jadi kita bisa menyimpan dulu data baru dimatikan.Komputer yang tiba tiba mati tanpa di shutdown terlebih dahulu akan membuat harddisk cepat rusak.
10.ventilasi yang cukup..jangan meletakkan CPU ditempat yang terlalu sesak atau sempit..karena bisa membuat udara tidak bisa keluar sehingga menyebabkan harddisk menjadi cepat panas.Jadi sebaiknya pilih CPU yang memiliki banyak kipas dan tempatkan ditempat yang agak luas..

Demikian 10 tips singkat merawat harddisk..semoga setelah membaca tips ini  harddisk anda dapat berumur  panjang dan tidak mudah rusak.

Senin, 01 Maret 2010

Biografi Penemu Komputer Digital

          Apakah komputer digital yang pertama kali dibuat manusia sama dengan yang sekarang ini bisa kita gunakan? Jauh berbeda, baik bentuk, ukuran, fungsi, maupun kemampuan. Komputer yang ada saat ini jauh lebih kecil namun dengan kemampuan jauh lebih komplit dibanding yang pertama kali dibuat. Mau tahu ukurannya? Tinggi 2,4 meter, panjang 15,3 meter, berat 35 ton, membutuhkan kabel sepanjang 800 kilometer, dan 3 juta buah sambungan!Adalah Howard Hathaway Aiken sebagai orang pertama yang menemukannya. Aiken lahir di Hoboken, New Jersey, Amerika Serikat, 9 Maret 1900. Ia pernah mengenyam bangku kuliah di Universitas Wisconsin dan menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Harvard tahun 1939. Ia pernah bergabung dengan Angkatan Laut Amerika Serikat di bagian artileri (persenjataan).Tugasnya di divisi persenjataan itu membuatnya harus memikirkan dan membuat perhitungan yang sangat teliti dan cepat akan akurasi tembakan meriam, peluncuran roket, atau membuat rencana bangunan yang rumit. Tahun 1939, dengan dibantu tiga orang insinyur lainnya yaitu Durfee, Hamilton, dan Lake, mereka mengerjakan proyek pembuatan mesin hitung elektronik yang dapat menghitung secara cermat dan cepat tentang penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Hasilnya, tahun 1944 jadilah komputer yang diberi nama Harvard Mark I yang kemudian digunakan oleh Angkatan Laut AS.
   Cara mengoperasikan Mark I itu tidak semudah saat ini. Perintah dan pertanyaan disampaikan melalui pita kertas yang berlubang-lubang. Komputer akan menjawab pertanyaan itu dengan kertas berlubang juga atau langsung dengan kertas yang telah diketik dengan mesin tik listrik.Mungkin Aiken tidak membayangkan bahwa komputer yang awalnya dia buat sebesar gudang itu saat ini menjadi sangat ringkas, bahkan bisa dimasukkan ke saku dalam bentuk PDA. Aiken meninggal di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, 14 Maret 1973.